-Hijab itu melindungi, bukan mengasingkan-

dan membatasi. Padahal sebetulnya ada alasan-alasan logis di baliknya, baik dari sisi psikologi, fisiologi, dan terutama dari sisi Islami.
Jadi begini, dalam Islam hijab di mana-mana ada. Dalam hidup ini juga ada hijab yang mesti dijaga. Kenapa, karena antara laki-laki dan perempuan itu saling tariknya tinggi. Justru karena adanya tarik-menarik ini, di-manage secara baik lewat hijab. Kenapa? Karena tanpa ada proses hijab, gaya tarik-menarik tersebut bisa menyebabkan kerugian pada satu pihak. Kemungkinan besar biasanya perempuan, karena laki-laki punya kecenderungan untuk agresif. Misalnya, hubungan seks antara keduanya. Siapa yang kira-kira akan menjadi pemikul resiko terbesar bila terjadi kehamilan? Itu perempuan.
Kemudian, adanya hijab justru memelihara gaya tarik-menarik tadi. Misalnya mereka saling tertarik, terus nggak ada hijab. Dilepas aja, tarikan-tarikan itu. Nanti lama-lama mulai jenuh, mulai bosan, mulai tidak menarik lagi. Sama kayak magnet. Kalau magnet itu terus menerus dipertemukan, tarik-menarik, kan lama-lama gayanya sendiri berkurang.
Dulu saya tahun 2003 pertama kali bergabung dengan salman, saya diminta untuk bikin outbond di daerah Cikole. Oke, saya akan bikin kelompok, campur laki-laki dan perempuan. Oh, tentu diprotes. Sampai panitianya sendiri deg-deg-an. “Aduh, Bang saya bisa diprotes sama orang.” Lho, saya bikin pengelompokkan, kegiatannya di hutan, kalau saya nggak campur laki-laki sama perempuan kalau perempuannya kemudian terjatuh, terseret arus sungai segala macem , ini gimana kalau nggak ada cowok dalam tim tersebut?
Akhirnya saya jelaskan dalil-dalil dan seterusnya,
akhirnya mereka paham. Walau awalnya cemas, dikritik keras dan semacamnya.
Saya memesankan satu hal waktu itu, temen-temen saat ini para mahasiswa hobi bener mengatakan “syar’i”. Padahal ada yang lebih tinggi dari syar’i, Islami . Karena syar’i itu hanya bagiannya saja. Jangan sampai gara-gara demi syar’i, kita menjadi tidak Islami. Apa contohnya? Ya contohnya tadi yang saya bilang. Ada akhwat mau jatoh , dengan alasan syar’i, nggak berani megang tangannya. Dalam kasus tersebut boleh dipegang, karena darurat.
ada “sesuatu” yang “terjadi” dalam diri masing-masing. Bisa Abang jelaskan?
Kan ada yang namanya chemistry, sebuah proses
kimiawi. Itu tidak hanya terjadi pada laki-laki dan
perempuan, tapi setiap proses interaksi dan kedekatan itu melahirkan hubungan-hubungan kimiawi. Ketika berinteraksi, ketika mereka berdekatan, itu pasti terjadi sebuah interaksi kimiawi. Apalagi kalau berdekatan itu sampai pada tingkat seneng, saling menyukai, dan sebagai-sebagainya. Yang jelas itu sudah terjadi proses transfer, transfer energi, transfer perasaan dan sebagainya. Itu pasti merubah hal-hal tertentu.
Itu sesuatu yang naluriah sih, ya. Sebagai laki-laki sadar atau tidak sadar, dia akan lebih mengoptimalkan “performa” kelaki-lakiannya. Salah satu caranya adalah suaranya jadi berat, sementara si perempuan sebaliknya, kok suaranya jadi lembut? Kalau laki-laki biasanya yang dia olah itu suara. Sedangkan perempuan mengolah penampilannya. Karena ada kaidah “taklukkanlah seorang perempuan lewat telinganya, dan taklukanlah laki-laki lewat matanya.” Ini bukan mitos.
Saya pernah melakukan riset yang membuktikan
perempuan itu kalau dirayu dengan kata-kata yang berbunga-bunga, padahal si cewek tahu itu cuman omong kosong, dirayu doang, tapi tetep seneng. “Gue tau lo gombal, tapi gue suka sama omongan lo.”
Memang mau nggak mau harus diakui, interaksi antara laki-laki dan perempuan sebelum menikah itu memang sebuah interaksi yang satu sama lain make topeng.
Nggak bisa disalahin , namanya juga ingin saling menarik perhatian. Itu naluriah. Makanya saya sering kali mengatakan pacaran itu tidak menjadi jaminan dua manusia saling kenal mengenal. “Begitu nikah, kok beda? Padahal kan pacaran udah 6 tahun, tapi begitu nikah kok beda banget ya antara kamu yang saya kenal sebelum nikah sama kamu yang saya kenal sesudah nikah?”
Kenapa terjadi fenomena playboy dan playgirl? Pertama tak tertahankan, tak terlampiaskan, dan sekarang itu begitu mudahnya sampai ada ungkapan yang saya cemas mudah-mudah nggak betul, “Nggak ada sih sekarang pacaran yang nggak pakai seks.” Itu yang saya takutkan.
Jadi memang kalau saya boleh bilang, candu paling berat di dunia itu candu seks. Seks itu potensi yang sudah ada dalam diri kita. Pada dasarnya ketertarikan laki-laki dan perempuan itu sejak kecil, 5 tahun sudah ada. Begini, sejak awal abad 20 lahir generasi baru. Namanya “remaja”. Jaman dulu remaja itu nggak ada, anak-anak langsung dewasa. Kenapa remaja itu muncul? Karena telah lahir generasi s udah baligh tapi belum akil . Padahal akil baligh itu harusnya satu paket. Dalam Islam nggak ada yang namanya remaja.
Baligh , kedewasaan fisik, melahirkan nafsu. Akil , dewasa mental, melahirkan akal. Kita bisa bayangin kalau ada generasi secara fisik udah dewasa, tapi secara mental dia belum dewasa. Nafsunya menggebu-gebu, akal sebagai alat pengendali nafsu belum terbentuk dengan matang. Fenomena playboy, playgirl ,awalnya itu dari situ.
Stimulan dari luar itu pasti banyak. Makanan saja bisa jadi stimulan. Misalnya, kita banyak makan protein hewani sangat berbeda dengan kalau kita banyak makan yang sifatnya nabati. Banyak-banyak makan protein hewani, dorongan seksual jadi tinggi. Belum lagi stimulasi yang lain. Kalau cowok terutama stimulasinya dari mata. Perempuan stimulasinya sentuhan. Jadi kita kembali lagi ke hijab tadi. Islam sebenarnya memelihara itu.
Ada lagi stimulasi-stimulasi yang sifatnya kultural, budaya. Sekarang kita lihat orang ciuman itu biasa. Dari lingkungan, kita berteman dengan teman yang, “Kok dia main pegang-pegang aja ? Kok dia main colek-colekan gampang aja ?” Kan bagi kita juga ada satu perasaan, “ Gimana ya rasanya dipegang? Gimana rasanya dicolek?”
Makanya perempuan lebih riskan pada stimulasi-
stimulasi eksternal ini. Rasulullah mengatakan,
“Sesungguhnya syahwat perempuan lebih besar dari syahwat laki-laki. Tapi Allah lindungi mereka dengan rasa malu.” Jadi perempuan secara seksual dorongannya memang lebih tinggi, tapi Allah hiasi mereka dengan rasa malu. Itu senjata yang paling bagus. Nah, yang repot kalau sekarang ini rasa malunya udah hilang. Waduh , tambah babak belur, deh.
Sudah akilnya belum berkembang, rasa malu sebagai pengendali sudah nggak berkembang juga. Apalagi sekarang ada ajaran bahwa malu itu jelek.
Begini ada hal-hal yang sifatnya perbedaan pendapat. Misalnya suara, suara adalah aurat. Ada yang mengatakan benar, ada yang mengatakan tidak. Kalau kayak berbicara dan sebagainya, di jaman Rasulullah, toh juga terjadi. Yang terpenting yang diajarkan oleh agama jangan menggunakan intonasi yang mendayu-dayu, merayu, dan sebagainya, yang membuat orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit menjadi tergoda. Itu kan yang disebut dalam Alquran.
secukupnya, seadanya, sekadarnya. Misalnya kita lagi ngobrol, nggak mungkin dong, ngobrol nggak tatapan mata. Sementara di jaman Rasulullah proses belajar itu tatap mata. Yang penting secukupnya, sekadarnya, sewajarnya, kan begitu. Karena dikatakan oleh Sayyidina Ali, “Pandangan pertama adalah rahmat, pandangan kedua adalah khianat.” Arti dari pandangan kedua itu adalah memandang sesuatu dengan tambahan yang niatnya udah busuk.
Rasulullah juga mengatakan dalam satu hadits. “Jika aku perintahkan sesuatu kepadamu, laksanakanlah semampumu.” Dalam pengertian, kita mencoba untuk menjaga harga diri kita, sejauh yang bisa kita lakukan. Kalau kita tidak bisa, ya kita mencoba untuk beristighfar. Yang penting kita menganggap yang benar tetap benar, yang salah tetap salah. Jangan kita melakukan hal yang salah tapi kita melakukan pembenaran terhadap hal itu.
Wallahua'lam
-salmanitb.com-Hijab itu melindungi, bukan mengasingkan-
dan membatasi. Padahal sebetulnya ada alasan-alasan logis di baliknya, baik dari sisi psikologi, fisiologi, dan terutama dari sisi Islami.
Jadi begini, dalam Islam hijab di mana-mana ada. Dalam hidup ini juga ada hijab yang mesti dijaga. Kenapa, karena antara laki-laki dan perempuan itu saling tariknya tinggi. Justru karena adanya tarik-menarik ini, di-manage secara baik lewat hijab. Kenapa? Karena tanpa ada proses hijab, gaya tarik-menarik tersebut bisa menyebabkan kerugian pada satu pihak. Kemungkinan besar biasanya perempuan, karena laki-laki punya kecenderungan untuk agresif. Misalnya, hubungan seks antara keduanya. Siapa yang kira-kira akan menjadi pemikul resiko terbesar bila terjadi kehamilan? Itu perempuan.
Kemudian, adanya hijab justru memelihara gaya tarik-menarik tadi. Misalnya mereka saling tertarik, terus nggak ada hijab. Dilepas aja, tarikan-tarikan itu. Nanti lama-lama mulai jenuh, mulai bosan, mulai tidak menarik lagi. Sama kayak magnet. Kalau magnet itu terus menerus dipertemukan, tarik-menarik, kan lama-lama gayanya sendiri berkurang.
Dulu saya tahun 2003 pertama kali bergabung dengan salman, saya diminta untuk bikin outbond di daerah Cikole. Oke, saya akan bikin kelompok, campur laki-laki dan perempuan. Oh, tentu diprotes. Sampai panitianya sendiri deg-deg-an. “Aduh, Bang saya bisa diprotes sama orang.” Lho, saya bikin pengelompokkan, kegiatannya di hutan, kalau saya nggak campur laki-laki sama perempuan kalau perempuannya kemudian terjatuh, terseret arus sungai segala macem , ini gimana kalau nggak ada cowok dalam tim tersebut?
Akhirnya saya jelaskan dalil-dalil dan seterusnya,
akhirnya mereka paham. Walau awalnya cemas, dikritik keras dan semacamnya.
Saya memesankan satu hal waktu itu, temen-temen saat ini para mahasiswa hobi bener mengatakan “syar’i”. Padahal ada yang lebih tinggi dari syar’i, Islami . Karena syar’i itu hanya bagiannya saja. Jangan sampai gara-gara demi syar’i, kita menjadi tidak Islami. Apa contohnya? Ya contohnya tadi yang saya bilang. Ada akhwat mau jatoh , dengan alasan syar’i, nggak berani megang tangannya. Dalam kasus tersebut boleh dipegang, karena darurat.
ada “sesuatu” yang “terjadi” dalam diri masing-masing. Bisa Abang jelaskan?
Kan ada yang namanya chemistry, sebuah proses
kimiawi. Itu tidak hanya terjadi pada laki-laki dan
perempuan, tapi setiap proses interaksi dan kedekatan itu melahirkan hubungan-hubungan kimiawi. Ketika berinteraksi, ketika mereka berdekatan, itu pasti terjadi sebuah interaksi kimiawi. Apalagi kalau berdekatan itu sampai pada tingkat seneng, saling menyukai, dan sebagai-sebagainya. Yang jelas itu sudah terjadi proses transfer, transfer energi, transfer perasaan dan sebagainya. Itu pasti merubah hal-hal tertentu.
Itu sesuatu yang naluriah sih, ya. Sebagai laki-laki sadar atau tidak sadar, dia akan lebih mengoptimalkan “performa” kelaki-lakiannya. Salah satu caranya adalah suaranya jadi berat, sementara si perempuan sebaliknya, kok suaranya jadi lembut? Kalau laki-laki biasanya yang dia olah itu suara. Sedangkan perempuan mengolah penampilannya. Karena ada kaidah “taklukkanlah seorang perempuan lewat telinganya, dan taklukanlah laki-laki lewat matanya.” Ini bukan mitos.
Saya pernah melakukan riset yang membuktikan
perempuan itu kalau dirayu dengan kata-kata yang berbunga-bunga, padahal si cewek tahu itu cuman omong kosong, dirayu doang, tapi tetep seneng. “Gue tau lo gombal, tapi gue suka sama omongan lo.”
Memang mau nggak mau harus diakui, interaksi antara laki-laki dan perempuan sebelum menikah itu memang sebuah interaksi yang satu sama lain make topeng.
Nggak bisa disalahin , namanya juga ingin saling menarik perhatian. Itu naluriah. Makanya saya sering kali mengatakan pacaran itu tidak menjadi jaminan dua manusia saling kenal mengenal. “Begitu nikah, kok beda? Padahal kan pacaran udah 6 tahun, tapi begitu nikah kok beda banget ya antara kamu yang saya kenal sebelum nikah sama kamu yang saya kenal sesudah nikah?”
Kenapa terjadi fenomena playboy dan playgirl? Pertama tak tertahankan, tak terlampiaskan, dan sekarang itu begitu mudahnya sampai ada ungkapan yang saya cemas mudah-mudah nggak betul, “Nggak ada sih sekarang pacaran yang nggak pakai seks.” Itu yang saya takutkan.
Jadi memang kalau saya boleh bilang, candu paling berat di dunia itu candu seks. Seks itu potensi yang sudah ada dalam diri kita. Pada dasarnya ketertarikan laki-laki dan perempuan itu sejak kecil, 5 tahun sudah ada. Begini, sejak awal abad 20 lahir generasi baru. Namanya “remaja”. Jaman dulu remaja itu nggak ada, anak-anak langsung dewasa. Kenapa remaja itu muncul? Karena telah lahir generasi s udah baligh tapi belum akil . Padahal akil baligh itu harusnya satu paket. Dalam Islam nggak ada yang namanya remaja.
Baligh , kedewasaan fisik, melahirkan nafsu. Akil , dewasa mental, melahirkan akal. Kita bisa bayangin kalau ada generasi secara fisik udah dewasa, tapi secara mental dia belum dewasa. Nafsunya menggebu-gebu, akal sebagai alat pengendali nafsu belum terbentuk dengan matang. Fenomena playboy, playgirl ,awalnya itu dari situ.
Stimulan dari luar itu pasti banyak. Makanan saja bisa jadi stimulan. Misalnya, kita banyak makan protein hewani sangat berbeda dengan kalau kita banyak makan yang sifatnya nabati. Banyak-banyak makan protein hewani, dorongan seksual jadi tinggi. Belum lagi stimulasi yang lain. Kalau cowok terutama stimulasinya dari mata. Perempuan stimulasinya sentuhan. Jadi kita kembali lagi ke hijab tadi. Islam sebenarnya memelihara itu.
Ada lagi stimulasi-stimulasi yang sifatnya kultural, budaya. Sekarang kita lihat orang ciuman itu biasa. Dari lingkungan, kita berteman dengan teman yang, “Kok dia main pegang-pegang aja ? Kok dia main colek-colekan gampang aja ?” Kan bagi kita juga ada satu perasaan, “ Gimana ya rasanya dipegang? Gimana rasanya dicolek?”
Makanya perempuan lebih riskan pada stimulasi-
stimulasi eksternal ini. Rasulullah mengatakan,
“Sesungguhnya syahwat perempuan lebih besar dari syahwat laki-laki. Tapi Allah lindungi mereka dengan rasa malu.” Jadi perempuan secara seksual dorongannya memang lebih tinggi, tapi Allah hiasi mereka dengan rasa malu. Itu senjata yang paling bagus. Nah, yang repot kalau sekarang ini rasa malunya udah hilang. Waduh , tambah babak belur, deh.
Sudah akilnya belum berkembang, rasa malu sebagai pengendali sudah nggak berkembang juga. Apalagi sekarang ada ajaran bahwa malu itu jelek.
Begini ada hal-hal yang sifatnya perbedaan pendapat. Misalnya suara, suara adalah aurat. Ada yang mengatakan benar, ada yang mengatakan tidak. Kalau kayak berbicara dan sebagainya, di jaman Rasulullah, toh juga terjadi. Yang terpenting yang diajarkan oleh agama jangan menggunakan intonasi yang mendayu-dayu, merayu, dan sebagainya, yang membuat orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit menjadi tergoda. Itu kan yang disebut dalam Alquran.
secukupnya, seadanya, sekadarnya. Misalnya kita lagi ngobrol, nggak mungkin dong, ngobrol nggak tatapan mata. Sementara di jaman Rasulullah proses belajar itu tatap mata. Yang penting secukupnya, sekadarnya, sewajarnya, kan begitu. Karena dikatakan oleh Sayyidina Ali, “Pandangan pertama adalah rahmat, pandangan kedua adalah khianat.” Arti dari pandangan kedua itu adalah memandang sesuatu dengan tambahan yang niatnya udah busuk.
Rasulullah juga mengatakan dalam satu hadits. “Jika aku perintahkan sesuatu kepadamu, laksanakanlah semampumu.” Dalam pengertian, kita mencoba untuk menjaga harga diri kita, sejauh yang bisa kita lakukan. Kalau kita tidak bisa, ya kita mencoba untuk beristighfar. Yang penting kita menganggap yang benar tetap benar, yang salah tetap salah. Jangan kita melakukan hal yang salah tapi kita melakukan pembenaran terhadap hal itu.
Wallahua'lam
-salmanitb.com